Sabtu, 15 September 2012

Pertunjukan "BROMO"



























Rasanya baru 2 jam tertidur namun sudah harus terbangun lagi. Nampaknya ini telah menjadi kewajiban yang harus saya lakukan tiap kali berwisata di pegunungan. Mungkin karena saya selalu ingin mengejar keindahan sunrise dan sejuknya hawa pengunungan yang mana mengharuskan saya bangun sesubuh mungkin. Namun tidak menjadi masalah karena keindahan pegunungan kali ini sudah terbukti hingga ke manca negera. Apalagi kalau bukan Bromo, wisata pegunungan yang cocok bagi orang-orang yang memang suka mendaki ataupun orang yang hanya ingin menikmati indahnya pemandangan. Fasilitas dan akses yang sudah memadai membuat gunung Bromo menjadi salah satu tujuan favorit wisatawan lokal dan internasional.
Perjalanan saya kali ini dimulai dari kota Probolinggo. Biasanya, kalau mau ke Bromo, kamu bisa menyewa mobil dari kota Surabaya langsung ke Kabupaten Pasuruan atau ke kota Probolinggo. Namun, karena sebelumnya saya telah berkeliling ke beberapa kota di Jawa Timur, jadilah saya start dari kota Probolinggo saja. Satu hal yang pasti: berangkatlah dini hari sekitar jam 1 dari kota Surabaya agar sampai tepat waktu. Yang saya maksud bukan tepat saat matahari terbit, namun tepat sebelum jeep-Jeep mulai naik ke Penanjakan. Yup, saya harus naik Jeep untuk masuk ke kawasan wisata Bromo. Mobil sewaan akan diparkir di pinggir jalan kemudian diganti dengan jeep yang tentunya juga sewaan. Ada sekitar ratusan unit Jeep yang dapat kamu sewa di sini. Namun, meskipun jumlahnya ratusan, jeep-jeep ini selalu full booked saat weekend. Jadi, ada baiknya kamu memesan Jeep beberapa hari sebelum berangkat ke Bromo.
Mungkin kamu bertanya-tanya buat apa pakai Jeep? Kenapa tidak pakai mobil sendiri saja? Rute untuk mencapai Pananjakan – salah satu spot terbaik untuk melihat sunrise di Bromo– merupakan jalanan berpasir dan berdebu, serta harus melalui tanjakan yang cukup curam.  Nah, dalam medan yang berat kayak itu, hanya mobil Jeep yang bisa menembusnya. Bagi orang awam seperti saya yang hanya pernah melihat Bromo melalui foto, suasana Pananjakan yang gelap gulita seperti misteri buat saya. Di area ini ada tempat duduk berundak-undak menyerupai mini theater. Begitu kamu datang, telah banyak orang yang duduk, tidur-tiduran bahkan tidur beneran. Kalau tempat duduknya seperti ini, sunrise itu nampak seperti adengan film yang benar-benar harus di nikmati.
Tip: Kalau mau mengabadikan pemandangan bromo, carilah posisi paling depan. Bahkan, kalau perlu dekat pagar pembatas, karena itu satu-satunya cara agar saat sunrise nanti kamu benar-benar mengambil foto sunrise, bukan kepala manusia ;p. Oh iya, jangan lupa bawa tripod agar gambarnya tidak blur dan shaky ya…
Setelah menunggu beberapa saat, secercah cahaya mulai nampak perlahan dari sebelah kiri theater sunrise ini. Tanpa menunggu komando, orang-orang serentak mengambil foto, mencoba mengabadikan cahaya sunrise yang perlahan-lahan menyingkap keindahan pegunungan Bromo.
Dimulai dari megahnya Gunung Semeru yang mengeluarkan kepulan asap dari kawahnya. Selanjutnya deretan pegunungan dibawah kaki gunung Semeru yang mulai terlihat satu persatu. Namun, di antara pengunungan tersebut, nampak ada satu gunung yang terlihat menonjol. Ya, itulah gunung Bromo. Gunung yang terlihat jelas karena kawahnya yang menganga lebar ini seolah-olah mengingatkan bahwa ‘dia’ punya banyak cerita. Karena jumlah pengunjung yang membludak, kesempatan mengambil gambar yang bagus dengan para ‘selebriti alam’ ini mungkin akan terasa sulit. Bahkan banyak yang sampai melewati pagar pembatas demi mendapatkan foto.


Setelah puas mengumpulkan foto dari berbagai sudut, ada baiknya mampir di warung-warung di sepanjang jalanan turun dari Pananjakan untuk sarapan. Hal ini penting, mengingat kegiatan berikutnya adalah tracking gunung Bromo. Sama halnya ketika di daerah lain di pulau Jawa – selain Jakarta dan Bandung tentunya – harga makanan di daerah sini pun tidak terlalu melilit kantong. Tapi, hal yang sama tidak berlaku untuk suvenir, harganya hampir sama seperti di luar negeri saking mahalnya!
Rekan Sepenanggungan *wink

Setelah membeli jagung bakar dan memakannya sepanjang perjalanan turun ke lembah, kami meneruskan aktifitas berikutnya yaitu pendakian gunung Bromo. Namun, lagi-lagi perjalanan selanjutnya tidaklah semudah yang saya bayangkan. Mendaki gunung bromo di saat transisisi dari musim kemarau ke musim hujan hanya berarti satu hal: selamat datang di musim angin! Tapi, bukan angin yang membuat pendakian ini terasa berkesan, melainkan ‘serbuan’ pasir yang diterbangkan oleh angin. Rasanya kami seperti terjebak dalam badai pasir sepanjang jalur pendakian.
Sebenarnya, jalan yang harus ditempuh untuk sampai ke bibir kawah gunung Bromo tidak jauh. Walaupun hanya untuk sampai ke kaki gunung Bromo saja, saya harus jalan beratus-ratus meter karena Jeep tidak boleh masuk ke sana. Alasannya? Karena daerah itu merupakan wilayah bisnis transportasi kuda. Yah namanya juga bagi-bagi rejeki, kan.. Jika menggunakan transportasi kuda biasanya dikenakan biaya Rp.130.000 –Rp.150.000/kuda/orang/PP. Tapi kalau sudah agak siang sih bisa jadi Rp.75.000/kuda/orang/PP (silahkan menawar *wink).
Awalnya saya ingin mencoba bagaimana rasanya berjalan di tengah-tengah badai pasir. Ternyata rasanya sangat menderita! Saat badai pasir datang, saya harus berhenti dan membelakangi arah angin supaya pasir tidak masuk ke mata dan mulut. Saat tidak ada angin, lalu lalang orang yang berjalan di sekeliling saya membuat pasir-pasir halus kembali beterbangan. Belum lagi kuda-kuda yang hilir mudik menambah parah kesulitan saya untuk bernapas.



Akhirnya setelah mendaki kira-kira setengah dari gunung Bromo, saya memutuskan untuk naik kuda saja. Ternyata, kuda ini pun sebenarnya tidak dapat digunakan hingga ke bibir kawah. Kuda-kuda akan diparkir di dataran luas. tepat sebelum tangga yang menuju ke kawah, Setelah itu saya harus meneruskan pendakian yang sangat curam ke bibir kawah. Sebenarnya ada tangga beton yang bisa digunakan, namun kondisinya mengenaskan. Anak tangganya banyak yang rusak, bahkan di beberapa titik, pegangannya sudah runtuh, Apalagi kondisi tangga yang hampir seluruhnya tertutup oleh pasir, rasanya seperti sedang sedang mendaki bukit pasir sungguhan. Saya sampai berpikir jangan-jangan tangga ini peninggalan jaman kerajaan.
Setelah berjuang setengah hidup akhirnya saya sampai di bibir kawah Bromo, Sayangnya, badai pasir membuat dasar kawah hampir tidak terlihat. Namun saat menengok ke belakang, pemandangan badai pasir yang kadang menutupi kaki gunung Bromo memberikan kepuasan tersendiri karena telah jalan sejauh ini. Puas menikmati puncak Bromo, saya lalu turun kembali ke tempat parkir Jeep dengan membawa oleh-oleh khas Bromo: muka cemong di sana-sini, rambut kusut dan kasar serta baju dan sepatu yang penuh pasir .
Selain Panajakan dan Gunung Bromo masih ada beberapa tempat wisata di sekitar sini yang bisa kamu kunjungi. Pasir berbisik, padang kaktus dan padang savana. Untuk mengunjungi 4–5 lokasi tersebut biasanya dikenakan biaya sekitar Rp.500.000/++ untuk 5 orang/Jeep. Namun, jika hanya ingin ke Pananjakan dan gunung Bromo saja, biasanya dikenakan biaya sekitar Rp.350.000/++ untuk 5 orang/Jeep. Bagi yang mau langsung berendam air panas, bisa turun dari arah Pasuruan. kemudian dilanjutkan ke Malang dan Batu. Selamat berlibur *wink.
NB: Baca juga artikel terkait di bawah ini yah. Penting!

Budget:
Sewa Kamar : Rp 80.000-Rp 100.000/ malam
Sewa Mobi Jeep 3 tempat: Rp. 350.000/ mobil/ 5 orang
Sewa Kendaraan: Rp. 350.000- Rp 500.000
Makan: Rp 8.000 – Rp. 15.000/ Sekali makan

Foto oleh: Cita Nursyadzaly
Cerita oleh: Tenri Ake
Edit oleh: Cita Nursyadzaly

0 komentar:

Posting Komentar

 

Copyright © Makan sambil Jalan *wink. Template created by Volverene from Templates Block
WP by WP Themes Master | Price of Silver